Tasrifan Jombangan, dari Pesantren Seblak untuk Dunia

  • Bagikan

Oleh: Mukani

Alumni Pesantren Seblak, guru SMAN 1 Jombang dan dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang

Kehadiran kitab kuning yang ditulis para pakar keagamaan pada periode sejarah tertentu menjadi sangat krusial. Terutama dalam menjembatani pemahaman keagamaan mereka dengan al-Qur’an dan hadits. Meskipun dari kalangan santri modernis sangat menganjurkan umat muslim untuk melakukan penggalian langsung kepada kedua sumber utama Islam, bukan melalui kitab kuning.

Kitab kuning, menurut rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Masdar Hilmy (2016), merupakan elemen integral dari tradisi sebagian besar pesantren di Indonesia. Keterkaitan antara kitab kuning dengan dunia pesantren dapat dikatakan sebagai dua sisi dari sebuah mata uang yang sama. Terutama bagi kalangan santri tradisionalis.

Jombang, lanjut Hilmy, merupakan daerah kelahiran banyak tokoh pesantren yang dulu mendirikan NU. Jombang menjadi daerah di Jawa Timur yang memiliki basis pesantren tertua di Indonesia. Kondisi ini terbukti memproduksi para tokoh daerah maupun nasional yang memainkan peran aktif-proaktif dalam proses formasi dan konfigurasi pandangan dunia muslim di Indonesia.

KH Muhammad Ma’shum Ali adalah salah satunya. Kiai asal Maskumambang Gresik kelahiran 1887 ini adalah santri generasi pertama dari Pesantren Tebuireng di era pengasuh pertama Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Meski hidup sederhana, karya-karya Kiai Ma’shum telah membuka cakrawala ilmu-ilmu keislaman. Terutama bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, juga dunia internasional. Kitab al-Amtsilah al-Tashrifiyah salah satunya, yang kemudian terkenal dengan Tasrifan Jombangan.

 

Mendirikan Pesantren Seblak

Setelah Pesantren Tebuireng didirikan di tahun 1899, lambat laun mengalami perkembangan. Para wali santri yang awalnya hanya mengantar putranya, di kemudian hari juga menitipkan putrinya. Sehingga dipandang perlu mendirikan pondok pesantren yang khusus bagi santri putri.

Hadratussyaikh kemudian menyuruh Kiai Ma’shum dan Nyai Khoiriyah, anak pertama Hadratussyaikh, untuk mewujudkan cita-cita itu. Keduanya baru saja melangsungkan pernikahan. Setelah survei dan mempertimbangkan beberapa lokasi, akhirnya dipilih Dusun Seblak, yang jaraknya hanya 200 meter barat Tebuireng.

Kemudian keduanya membeli sebidang tanah seluas setengah hektar dari seorang dukun santet. Menurut catatan Nyai Djamilah (1979), putri kedua Kiai Ma’shum, peristiwa itu terjadi tepat di tahun 1921. Di atas tanah itu lalu dibangun rumah kiai, sebuah surau yang dilengkapi dengan bilik tempat penginapan para santri sekaligus sebagai tempat untuk belajar. Santri awal berjumlah 25 orang dan seorang guru.

Angka di tahun 1921 itu diperkuat oleh penelitian Prof. Eka Srimulyani (2012), Muzayanah Hamas (1997), Arina Salamah (2016), Nur Laili Rahmah (2017), M. Sholahuddin (2012), Mukani (2019) dan Amirul Ulum (2019). Meskipun A. Khoirul Anam (2015) menyebut pendirian Pesantren Seblak di tahun 1913 dan buku Profil Pesantren Tebuireng (2011) menyebut angka 1926. Namun kedua pendapat terakhir ini tidak didukung sumber data yang valid.

Setelah berdiri hingga wafat tanggal 24 Ramadhan 1351 (8 Januari 1933), Kiai Ma’shum menjadi pengasuh Pesantren Seblak bersama sang istri. Di samping tetap mengabdikan diri mengajar di Pesantren Tebuireng. Menantu pertama dari Hadratussyaikh ini meninggal dunia dalam usia 46 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks maqbaroh Pesantren Tebuireng.

Kepemimpinan Pesantren Seblak dilanjutkan oleh Nyai Khoiriyah untuk beberapa waktu. Dia dibantu oleh kedua putri dan menantunya. Hingga sekarang, Pesantren Seblak menerima santri putra dan putri.

 

Standar Internasional

Kiai Ma’shum bukan sekedar kharismatik, yang pandai dalam mendidik santri-santri. Namun juga cendekiawan muslim yang produktif menuangkan ide-ide pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Berbagai karyanya berbentuk kitab kuning.

Selama hidup, Kiai Ma’shum menulis empat kitab yang, meski tidak begitu tebal, keempatnya best seller di pasaran. Sebagai karya monumental, banyak orang mengenal kitabnya daripada penulisnya. Bahkan hingga sekarang kitab-kitab itu masih digunakan sebagai rujukan utama di dunia pesantren.

Keempat kitab itu adalah Fathul Qadir fi al-‘Ajaib al-Maqadir (tentang ukuran Arab ke Bahasa Indonesia), al-Durus al-Falakiyah (tentang astronomi falak), Badi’ah al-Mitsal fi al-Hisab al-Sinin wa al-Hilal dan al-Amtsilah al-Tashrifiyah.

Kitab keempat yang kecil ini lebih dikenal di dunia pesantren dengan sebutan Tasrifan Jombangan. Ini karena penulisnya berasal dari Jombang. Sebelumnya sudah banyak tasrifan-tasrifan dari daerah lain. Saat Tasrifan Jombangan muncul, tasrifan-tasrifan lainnya seolah tenggelam.

Saat menulis Tasrifan Jombangan ini, Kiai Ma’shum masih berusia 19 tahun. Menurut direktur Islam Nusantara Center Jakarta A. Ginanjar Sya’ban (2018), kitab ini hingga sekarang masih digunakan. Bahkan dihapal oleh ribuan pesantren dan telah menghantar jutaan santri ke gerbang keilmuan Islam.

Kitab Tasrifan Jombangan juga terbukti sangat membantu dalam memahami teks-teks berbahasa Arab. Menurut mudir Madrasatul Qur’an Tebuireng KH. Musta’in Syafi’i (2018), Kiai Ma’shum sangat jeli dalam menyusun kitab ini per bab. Standar yang digunakan adalah rumusan internasional yang sangat praktis.

Tasrifan Jombangan tidak hanya menampilkan ilmu saja. Namun juga filosofis cara mencari ilmu. Kata yang dibuat contoh (mauzun) mengisyaratkan hal ini. Mulai dari kata mengerjakan (fa’ala), memukul (dharaba), membuka (fataha), memahami (‘alima), menjadi baik (hasuna) dan hasiba.

Keunikan kitab ini tidak hanya terletak pada ilmu sharaf. Jika diteliti, ternyata sistematikanya memuat makna yang sangat tinggi. Kitab ini bukan saja memiliki sistematika penulisan yang unik. Namun memiliki filosofi pengajaran perilaku kehidupan. Salah satu contoh bisa dilihat pada fi’il tsulasi mujarrad, misalnya, dalam enam kalimat yang disebut ternyata mengandung filosofi kehidupan.

Menurut Djunaidatul Munawaroh (2011), menggolongkan kitab ini ke dalam ilmu sharaf pada jenjang menengah yang amat terkenal di Nusantara, bahkan di luar negeri. Susunannya yang sistematis, sehingga mudah dipahami dan dihapal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia atau di luar negeri banyak menjadikan kitab ini sebagai rujukan primer.

Kitab Tasrifan Jombangan ini dicetak dalam ukuran besar dan ukuran buku saku. Tebalnya sekitar 60 halaman. Penerbit kitab ini awalnya ada dua, yaitu Salim Nabhan Surabaya di tahun 1950-an dan Alawiyah Semarang. Setiap terbitan memuat kata pengantar Prof. Saifuddin Zuhri, menteri agama di akhir Orde Lama. Sekarang Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak juga sudah menerbitkan sendiri.

Hingga sekarang, kitab ini masih dijadikan referensi dalam halaqah-halaqah di Masjid Al-Azhar Kairo Mesir. Menurut Nadhif Fuaduddin (2018), alumni Universitas Al-Azhar Kairo, banyak mahasiswa di sana yang juga mengikuti pengajian dengan sistem halaqah. Biasanya pengajian itu dibedakan berdasarkan bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, fikih, bahasa Arab dan sebagainya. Kitab Tasrifan Jombangan ini masuk dalam bidang keahlian bahasa Arab, tepatnya ilmu sharaf.

Foto sampul kitab al-Amtsilah al-Tashrifiyah

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *